Penanya:
بسم الله الرحمن الرحيم
Mau tanya Syaikh, sebenarnya belajar dengan sistem sekolah dan kuliah itu apakah beda dengan belajar dengan sistem kayak di Darul Hadits Dammaj dan markiz-markiz ulama lainnya? Karena kayaknya sekarang ini ustadz-ustadz lulusan universitas di mata manusia lebih dianggap daripada ustadz-ustadz yang lulusan markiz ulama dan pulang tidak membawa gelar.
Sedangkan kita tahu bahwasanya Rasulullah, Shahabat, tabiin tabiut tabiin dan ulama ulama salaf terdahulu tidak lah mereka itu memiliki gelar. Akan tetapi, harum ilmu mereka, masih bisa dirasakan sekarang ini, bagaimana Syaikh jawaban antum dari fenomena ini, berdasarkan ilmu dan gambaran yang ada pada diri antum.
Dijawab oleh Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy Hafidzahullah:
بسم الله الرحمن الرحيم
Memang pandangan manusia, seperti yang antum sebutkan mayoritasnya, memandang bahwasanya lulusan dari sekolah resmi, lulusan dari universitas, jami’ah, dan sebagainya itu lebih tinggi nilainya daripada lulusan dari majelis para ulama’. Thoyyib. Mengapa demikian? Sebabnya banyak, di antaranya adalah karena lingkungan yang sudah mewarnai cara berpikir mereka seperti itu, bahkan yang sudah belajar manhaj salaf sebagian masih terwarnai dengan yang seperti itu. Kenapa? Karena rata-rata, bukan hanya di Indonesia dan Malaysia, di seluruh dunia, orang sudah terwarnai dengan sistem pendidikan kolonial. Baik itu kolonial Belanda yang di Indonesia, ataupun kolonial Inggris yang di Malaysia, ataupun kolonial Perancis yang ada di daerah Afrika, dan di banyak tempat, sistem pendidikannya adalah pendidikan formal berupa sekolah. Makanya, kalau orang tidak sekolah akan dipandang rendah, akan dipandang bagaimana masa depannya, akan dipandang masih lemah, walaupun dia belajar dua puluh tahun di hadapan ulama’. Karena memang sudah terdidik seperti itu selama berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratus tahun pada masa kolonial itu. Sehingga jangan heran apabila seperti itulah sudut pandang kebanyakan orang.
Kita tahu sistem sekolah itu bukan mengutamakan melihat akhirat, bukan mengutamakan mencari keikhlasan, bukan mendahulukan rahmat dan kemanusiaan. Tetapi yang diutamakan adalah keduniaan. Tujuannya mendapatkan ijazah, pengakuan, lulus dari sekolah ini, lulus dengan nilai sekian, untuk kemudian bekerja sebagai direktur mungkin atau bekerja sebagai misalkan teknisi ini, atau dokter itu. Ataupun kalau dalam bidang agama, bekerja di departemen agama atau sebagai pendidik di sekolah-sekolah agama. Bukan mengutamakan akhirat, tetapi mengutamakan dunia. Demikian pula di sekolah sudah dididik sistem ekonomi, yaitu pengeluaran minimal, tetapi hasil maksimal. Kembalinya adalah masalah dunia. Maka jangan heran apabila orang memandang remeh pendidikan agama di hadapan para ulama’, walaupun ketika dibandingkan secara hapalan, yang di hadapan para ulama’ belum tentu kalah, bahkan mungkin lebih bagus. Dari sisi penukilan, justru kemungkinan yang belajar di sisi ulama’ lebih bagus daripada sistem sekolah. Karena ulama’ mendidiknya di masjid dan masjid jauh lebih diberkahi daripada di rumah.
Ditanyakan kepada Al-Allamah Al-Baihani rahimahullahu ta’ala dinukilkan oleh Syaikhuna Yahya, Mengapa Anda bukan lulusan dari jami’ah? Apakah Anda lulusan Jami’ah (universitas)? Saya lulusan dari Jami’, yaitu masjid Jami’. Jami’ itu mudzakkar dan Jami’ah itu muannas. Lelaki tidak seperti perempuan, ma’ruf hasilnya lain. Maka hasil keberkahan di masjid jauh lebih besar daripada di rumah dan bangku-bangku sekolah. Pendidikan di hadapan para ulama’ tidak dibatasi waktu satu jam pelajaran atau dua jam pelajaran atau 60 menit, berbeda dengan di sekolah. Bahkan boleh jadi para ulama’ selalu memantau keadaan murid-muridnya karena hidupnya dekat, beda dengan bangku-bangku sekolah atau universitas, rumah ulama’ jauh dan murid hanya datang di jam pelajarannya. Karena nanti ketika bubar, bubar. Kalau di pondok pesantren, rata-rata para ulama’ lebih tahu keadaan muridnya, lebih intensif memperhatikan muridnya, membimbing muridnya, dan seterusnya. Para murid juga cenderung lebih sering melihat ulama’ tersebut, karakternya, cara berjalannya, akhlaknya, dan sebagainya. Tetap sistem pesantren tradisional, lebih diberkahi dan lebih kuat.
Jelas kualitas cara pendidikan Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan Asbaut Tabi’in tak mungkin dapat ditandingi oleh kualitas sekolah yang tak seberapa dari berbagai sisi. Kita tidak mengatakan cara yang lain itu haram, tetapi keberkahan hanya diperoleh dari mengikuti salaf, yang mengikuti khalaf seringkali rusak. Tetapi karena masyarakat menilai sesuatu dari resmi atau tidak resminya, ada ijazah atau tidak ada ijazah, maka hasilnya seperti itu. Tetapi yang terpandang adalah apa yang ada di dalam pandangan Allah, bukan dalam pandangan manusia.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
Maka yang terpenting bagi kami adalah pandangan Allah ta’ala dan apa yang kami mampu bagikan kepada umat. Bukan pandangan umat dan apa yang dapat kami ambil dari hartanya umat.
و الحمد الله الرب العلمين